Jumat, 08 Februari 2013

Epistemologi Islam

Pembahasan ilmu pengetahuan dalam Islam dapat ditinjau dari dua sisi: ontologi dan epistemologi. Walaupun pembahasan tersebut dalam literatur Islam tidak tersusun secara rapi dan tersendiri, kita dapat menemukan pembahasan tersebut dalam beberapa kajian filsafat seperti pembahasan yang berkaitan dengan non meterialnya ilmu, tingkatan-tingkatan ilmu, terbaginya ilmu ke dalam beberapa bagian, dan lain-lain.

Secara ontologis, kita bisa membahas ilmu dari keberadaanya, apakah ia materi ataukah bukan. Kita sama sekali tidak membahas tentang gambaran atau komprehensif ilmu.

Adapun dari sisi epistemologi, kita bisa membahas ilmu dari sisi representifnya setelah kita membuktikan secara ontologis tentang keberadaan ilmu tersebut. Jadi, bisa dikatakan bahwa kajian epistemologi ini sebenarnya adalah pembahasan derajat kedua. Meskipun demikian, secara subtansial pembahasan epistemologi ini sangat berbeda dengan pembahasan pertama tadi.

Jihad Dalam Islam

 
 
“Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan berhijrah serta berjihad dengan harta dan jiwanya pada jalan Allah dan orang-orang yang memberikan tempat kediaman dan pertolongan (kepada orang-orang muhajirin), mereka itu satu sama lain lindung-melindungi...”
(Q.S. Al Anfal [8]: 72)

Dalam Islam, arti kata Jihad adalah berjuang dengan sungguh-sungguh. Jihad dilaksanakan untuk menjalankan misi utama manusia yaitu menegakkan Din Allah atau menjaga Din tetap tegak, dengan cara-cara sesuai dengan garis perjuangan para Rasul dan Al-Qur'an. Jihad yang dilaksanakan Rasul adalah berdakwah agar manusia meninggalkan kemusyrikan dan kembali kepada aturan Allah, menyucikan qalbu, memberikan pengajaran kepada ummat dan mendidik manusia agar sesuai dengan tujuan penciptaan mereka yaitu menjadi khalifah Allah di bumi.

Hampir bisa dipastikan, istilah “jihad” merupakan salah satu konsep Islam yang sering disalahpahami oleh orang-orang Islam sendiri dan pengamat Barat umumnya yang hanya mengartikan jihad dengan perang. Secara bahasa, kata jihad terambil dari kata “jahd” yang berarti “letih/ sukar”, karena jihad memang sulit dan menyebabkan keletihan. Ada juga yang berpendapat kata jihad berasal dari kata “juhd” yang berarti “kemampuan”, karena jihad menuntut kemampuan dan harus dilakukan sebesar kemampuan (M. Quraish Shihab, Wawasan Al-Qur’an, Bandung: Mizan, 1996, h. 501).

Teori Kritis Mazhab Frankfurt

Pemikiran kritis Mazhab Frankfurt disebut juga dengan nama “Teori Kritis” atau Kritische Theorie. Mazhab Frankfurt yang diidentikkan dengan Teori Kritis ini dikenalkan oleh sebuah lembaga yang dibentuk di Universitas Frankfurt, yaitu Institut fur Socialforschung (Institut Penelitian Sosial) yang didirikan pada tahun 1923. Institut ini merupakan salah satu jurusan resmi di universitas tersebut. Perintisnya adalah seorang sarjana ilmu politik bernama Felix Weil.
 
Perlu diketahui, sebagai “mazhab” atau “aliran” yang dipahami sebagai arus pemikiran kritis, oleh berbagai kalangan, aliran ini kemudian dikenal dengan sebutan “Mazhab Franfurt”. Dan pada perkembangan mazhab ini, yang paling dikenal sebagai Generasi Pertama Teori Kritis adalah Max Horkheimer (yang menjadi direktur sejak 1930), Theodor Wiesengrund-Adorno (yang menjadi direktur sejak 1951), dan Herbert Marcuse. Sedangkan Generasi Kedua Teori Kritis dari Mazhab Frankfurt adalah Jurgen Habermas yang merupakan filsuf paling kondang di zaman ini. Awalnya, pemikiran Mazhab Frankfurt dikenal sebagai Teori Kritis melalui majalah yang didirikan oleh Max Horkheimer, yaitu Zeitschrift fur Socialforschung.

Kritik Atas Positivisme
Teori kritis yang berkembang pada Mazhab Frankfurt menggunakan pendekatan kritik dalam arti Hegelian, Kantian, Freudian, dan Marxian (Hardiman 2009;52-59). Teori Kritis Mazhab Frankfurt tidak seperti ilmu alam yang memiliki metodologis berurat berakar, teori kritis lebih tepat di katakan merupakan program metodologis jangka panjang yang selalu di perbaiki dan di perlengkapi dengan wawasan baru. Secara singkat, dapat di katakan teori kritis memiliki kehendak lewat maksud menyusun suatu “teori dengan maksud praktis”.

Kontribusi Florence Nigthtingale dalam Manajemen Mutu Keperawatawan

Globalisasi mempertinggi arus kompetisi disegala bidang termasuk bidang kesehatan dimana perawat dan bidan terlibat didalamnya. Untuk dapat mempertahankan eksistensinya, maka setiap organisasi dan semua elemen-elemen dalam organisasi harus berupaya meningkatkan mutu pelayanannya secara terus menerus. Sistem pengembangan dan manajemen kinerja klinis (SPMKK) bagi perawat dan bidan terkait erat dan sinkron dengan program jaminan mutu (Quality Assurance). Kecenderungan masa kini dan masa depan menunjukkan bahwa masyarakat semakin menyadari pentingnya peningkatan dan mempertahankan kualitas hidup (quality of life). Oleh karena itu pelayanan kesehatan yang bermutu semakin dicari untk memperoleh jaminan kepastian terhadap mutu pelayanan kesehatan yang diterimanya. Semakin tinggi tingkat pemahaman masyarakat terhadap pentingnya kesehatan untuk mempertahankan kualitas hidup, maka customer akan semakin kritis dalam menerima produk jasa, termasuk jasa pelayanan keperawatan dan kebidanan, oleh karena itu peningkatan mutu kinerja setiap perawat dan bidan perlu dilakukan terus menerus. Proses mutu keperawatan sekarang ini tidak lepas dari peran tokoh Terkenal yang bernama Florence Nightingale, berikut dalam artike ini akan Saya paparkan dari sejarah Florence Nightinge, teori umumnya, definisi dari teori Florence Nightingale, beberapa pendapat tentang Teori Florence Nightingale dan kontribusi Florence Nightingale terhadap Mutu Pelayanan Keperawatan.