Jumat, 08 Februari 2013

Teori Kritis Mazhab Frankfurt

Pemikiran kritis Mazhab Frankfurt disebut juga dengan nama “Teori Kritis” atau Kritische Theorie. Mazhab Frankfurt yang diidentikkan dengan Teori Kritis ini dikenalkan oleh sebuah lembaga yang dibentuk di Universitas Frankfurt, yaitu Institut fur Socialforschung (Institut Penelitian Sosial) yang didirikan pada tahun 1923. Institut ini merupakan salah satu jurusan resmi di universitas tersebut. Perintisnya adalah seorang sarjana ilmu politik bernama Felix Weil.
 
Perlu diketahui, sebagai “mazhab” atau “aliran” yang dipahami sebagai arus pemikiran kritis, oleh berbagai kalangan, aliran ini kemudian dikenal dengan sebutan “Mazhab Franfurt”. Dan pada perkembangan mazhab ini, yang paling dikenal sebagai Generasi Pertama Teori Kritis adalah Max Horkheimer (yang menjadi direktur sejak 1930), Theodor Wiesengrund-Adorno (yang menjadi direktur sejak 1951), dan Herbert Marcuse. Sedangkan Generasi Kedua Teori Kritis dari Mazhab Frankfurt adalah Jurgen Habermas yang merupakan filsuf paling kondang di zaman ini. Awalnya, pemikiran Mazhab Frankfurt dikenal sebagai Teori Kritis melalui majalah yang didirikan oleh Max Horkheimer, yaitu Zeitschrift fur Socialforschung.

Kritik Atas Positivisme
Teori kritis yang berkembang pada Mazhab Frankfurt menggunakan pendekatan kritik dalam arti Hegelian, Kantian, Freudian, dan Marxian (Hardiman 2009;52-59). Teori Kritis Mazhab Frankfurt tidak seperti ilmu alam yang memiliki metodologis berurat berakar, teori kritis lebih tepat di katakan merupakan program metodologis jangka panjang yang selalu di perbaiki dan di perlengkapi dengan wawasan baru. Secara singkat, dapat di katakan teori kritis memiliki kehendak lewat maksud menyusun suatu “teori dengan maksud praktis”.

Sebelumnya, seluruh program teori kritis Mazhab Frankfurt dapat dikembalikan pada sebuah manifesto yang di tulis dalam Zeitschrift tahun 1937 oleh Horkheimer. Konsep teori kritis pertama kali muncul dalam artikel Horheimer yang berjudul Traditionelle und kritische Theorie (Teori Tradisional dan Teori Kritis). Artikel ini mengkritik teori tradisional yang dianggapnya teori yang disinterested yang jatuh pada saintisme dan positivisme. Oleh Horkheimer, positivistik digolongkan ke dalam teori tradisional karena berusaha menerapkan teori ilmu-ilmu empiris-analitis atau pendekatan ilmu alam, untuk menjelaskan kenyataan sosial masyarakat.

Menurut Horkheimer, cara kerja teori tradisional tidak saja dengan cara deduktif tetapi juga Induktif. Yakni bertolak dari hukum yang sudah di rumuskan menuju kepada fakta konkret yang dipandang tunduk pada hukum umum itu, tetapi juga bertolak dari pengamatan data khusus dan mengambil kesimpulan umum darinya, yang menjadi suatu “hukum”. Dengan kedua metode inilah menurut Horkheimer, meminjam istilah Edmund Husserl, bahwa teori tadisional memiliki “sistem tertutup”, yaitu bahwa ilmu-ilmu (cara kerja teori tradisional) tidak hanya sukses menjelaskan fakta, tetapi juga sukses memanipulasi, memprediksi dan mendayagunakan. Hal inilah yang disebutnya menjadi pendorong para pemikir-pemikir (akademisi abad modern) untuk menerapkan metode deduktif-induktif pada ilmu sosial budaya atau menjelaskan gejala sosial kemanusiaan. Perihal ini mengakibatkan teori tradisional terselubung dalam “ideologi ketat” dari teori positivistik di dalamnya. Selubung “ideologis” inilah yang ingin dibuka Horheimer dengan memaparkan tiga pengandaian dasar yang termuat dalam artikelnya. Pertama, teori tradisional mengandaikan bahwa pengetahuan manusia tidak menyejarah atau bersifat ahistoris. Dalam wawasan teori ini, kegiatan berteori harus di lakukan dengan cara memisahkan unsur subjektif dari teori. Berdasarkan ciri ahistorisnya itu maka tampak pengandaian kedua dari teori tradisional, yakni bahwa mengenai fakta atau objek yang diketahui oleh pengetahuan teoritikus bersifat netral; dan bertolak dari netralitasnya tampak pula pengandaian ketiga, yakni bahwa teori dapat di pisahkan dari praxis, proses penelitian dapat di pisahkan dari tindakan etis, dan pengetahuan dapat dipisahkan dari kepentingan. Karena berusaha mencapai status teori demi teori dengan tidak mempengaruhi objeknya, teori tradisional membenarkan dan membiarkan fakta itu tanpa menarik konsekwensi praktis untuk mengubahnya.

Horkheimer kemudian menganalisa bahwa jika teori semacam itu diterapkan pada kenyataan sosial kemasyarakatan, teori menjadi bersifat ideologis dan menjadi penjaga status quo yang bersifat menindas. Horkheimer menggambarkan sifat ideologis ini lewat tiga gejala. Pertama, dengan anggapan bahwa teori itu ahistoris, Teori tradisional mengklaim dirinya universal, berlaku dimana saja secara transenden dan suprasosial, sehingga dengan demikian melupakan proses kehidupan konkret di dalam masyarakat riil. Kedua, dengan anggapan bahwa teori itu bersifat netral, Teori tradisional berdiam diri terhadap masyarakat yang menjadi objeknya dan membenarkan keadaan tanpa mempertanyakannya. Ketiga, dengan memisahkan diri dari praxis, Teori tradisional mengejar teori demi teori dan tidak memikirkan implikasi praxis dari teori itu. Dengan jalan ini pula teori tradisional tidak bertujuan mengubah keadaan, malah melestarikan status quo masyarakat.

Lebih jauh, Horkheimer mengatakan bahwa teori mengenai masyarakat yang tidak netral, ahistoris dan lepas dari praxis itu, harus bersifat “kritis”. Horkheimer mencoba menerangkan kata “kritis” tersebut dengan memakai arti kritik menurut pemikiran Hegelian dan Marxian lewat metode dialektika Marxis, akan tetapi berbeda dengan Marx dan Hegel, teori Kritis Horheimer memakai metode dialektika tertentu yang mengarah ke masa depan atau apa yang mereka sebut Unabgeschlosenne Dialektik (Dialektik Terbuka).

Dengan metode dialektis, menurut Horkheimer, Teori kritis memiliki empat karakter. Pertama, bersifat historis (sesuai dengan kenyataan), kedua di susun berdasarkan kesadaran dan keterlibatan historis dari para pemikirnya (evaluasi, kritik dan refleksif terhadap dirinya sendiri), Ketiga, membongkar kedok ideologis, manipulasi, ketimpangan dan kontradiksi dalam masyarakat. Dan yang keempat, Teori kritis merupakan teori dengan maksud praxis, merupakan komitmen praktis sang pemikir kritis di dalam sejarahnya. Dengan cara ini, Teori Kritis menjadi tidak netral.

Sebagai Manifesto atau program jangka panjang dari Mazhab Frankfurt, artikel Horkheimer belum secara jelas merumuskan dasar epistimologis teori kritis. Akan tetapi, dalam artikel itu, Horkheimer membedakan dengan jelas dua macam ilmu pengetahuan dengan dua macam metodologi yang berbeda satu sama lain oleh karena objeknya juga berbeda, yaitu ilmu-ilmu alam yang menganut konsep Teori Tradisional dan ilmu-ilmu kemanusiaan yang di harapkan menganut konsep Teori Kritis.

Kritik Atas Masyarakat Modern
 
Potret terhadap rasionalitas masyarakat modern coba untuk disoroti oleh Adorno dan Horkheimer, berdasarkan praktik teknokratisme dan stalinis. Menurut mereka ilmu dan teknologi ternyata sama berubah menjadi mitos baru. Lewat karya bersama Dialektik der Aukflarung, mereka mengatakan bahwa masyarakat modern telah membuat struktur masyarakat baru yang yang saling mendominasi, serta berpikir positivistik yang menjadi ideologi dan mitos baru.

Lebih radikal lagi menurut Adorno dan Horkheimer, rasio kritis (modernitas) ternyata tak kurang dari mitos baru dalam bentuk yang lebih halus, lebih luhur, dan lebih dapat diterima oleh orang modern. Istilah Dialektika Pencerahan ini merujuk pada kondisi terjalinnya atau kait-mengaitnya antara mitos dan rasio. Istilah ini merupakan pendirian yang mencolok dari Mazhab Frankfurt bahwa teori kritis yang dilandasi rasio kritis itu sendiri berubah menjadi mitos atau ideologi dalam bentuk baru. Emansipasi masyarakat (memerangi proses mekanisasi masyarakat dalam bentuk sistem ekonomi dan administrasi birokratis), yang menjadi keprihatinan mereka, dilukiskan sebagai gerakan sia-sia dalam mitos demi mitos yang tak kunjung habis.

Kritik serupa dilontarkan Marcuse dalam One-Dimensional Man. Dalam karya ini, situasi masyarakat industri maju dilukiskan sebagai masyarakat berdimensi tunggal. Dengan hilangnya dimensi kedua, negasi atau perlawanan terhadap sistem masyarakat hanya mengadaptasi dominasi total teknokratisme. Kalau emansipasi pada gilirannya berubah menjadi dominasi baru. Dengan kata lain, sebuah kritik rasional menjadi mustahil. Akibatnya, dalam masyarakat dewasa ini juga tertutuplah ruang untuk kritik rasional itu, sebab dominasi telah total.

Jurgen Habermas yang kemudian tampil sebagai pembaharu teori kritis tidak sekedar menilai para pendahulunya memiliki kelemahan-kelemahan epistemologis yang mengantar mereka ke jalan buntu itu, melainkan juga memberi sebuah pemecahan mendasar yang sangat subur untuk meneruskan “proyek” teori kritis ala Frankfurt tersebut. Ide teori kritis belum berakhir. Habermas menyuburkannya kembali dalam paradigma baru.

Kepustakaan

Hardiman, F. Budi. 2009. Kritik Ideologi; Menyingkap Pertautan Antara Pengetahuan dan Kepentingan Bersama Jurgen Habermas. Yogyakarta : Kanisius.
 
(Sumber: fredyguty.wordpress.com)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar