Hasil bagus diraih anak – anak asuhan Rahmad Darmawan pada laga pertama dan kedua SEA Games 2011 Indonesia kemarin. Timnas U-23 menang 2 – 0 atas timnas U-23 Singapura.
Menutup babak pertama dengan keunggulan 2 – 0, Garuda muda sempat buntu pada babak kedua meladeni dominasi Singapura meski akhirnya hanya mampu meredam permainan menyerang yang dilakukan oleh anak-anak asuh Slobodan Pavkovic.
Tanpa meremehkan permainan dan peran individu setiap pemain, saya rasa keberadaan 3 pemain Papua dalam starting eleven kemarin malam sangat menentukan permainan Garuda. Oktavianus Maniani, Titus Bonai, dan Patrich Wanggai kian menegaskan dominasi sepakbola Papua yang 2 tahun belakangan ini merajai kompetisi domestik yang dipresentasikan, Persipura Jayapura.
Sebagai provinsi paling timur di Indonesia, Papua seakan menjadi sumber alam abadi bagi sepakbola Indonesia. Tongkat estafet pemain – pemain Papua di timnas tak pernah putus, selalu ada penerus ketika generasi tua mulai satu persatu pensiun.
Dari mulai saya aktif menonton sepakbola Indonesia, saya melihat Ronny Wabia dan Aples Tecuari. Waktu bergeser Eduard Ivakdalam, Alexander Pulalo, Erol Iba, Jack Komboy, Mauly Lessy, Elie Aiboy, Ortizan Solossa, sampai generasi terkini yang diwakili oleh Boaz Solossa dan empat pemain timnas U-23, Papua benar – benar tambang emas bagi persepakbolaan Indonesia.
Kecepatan, skill olah bola, menjadi ciri khas pemain – pemain Papua. Itu pula yang saya nikmati saat Rully Nere bermain dalam tim Indonesia All-Star saat menghadapi AC Milan Glorie. Biar usia sudah tua, tapi ciri khas permainan Papua tidak hilang dari Rully Nere.
Sepakbola menyerang, atraktif menjadi momok yang menakutkan dari tim – tim Papua. Persipura bahkan membawa kemilau permainan mereka lebih jauh pada AFC CUP 2010/2011.
Menyadari begitu banyaknya bakat alam di Papua dan melihat apa yang terjadi di PSSI sekarang rasanya sungguh sesuatu yang bertolak belakang. Papua bersinar PSSI suram.
Belum lagi jika melihat gejolak keamanan di Papua akhir – akhir ini. Provinsi ini selalu identik dengan ketidakdilan, tambang emas mereka dikeruk oleh perusahaan asing, sedangkan rakyat asli tidak mendapatkan bagian sepadan. Beruntung mereka masih berada dalam pelukan Ibu Pertiwi. Jika Papua sampai lepas dari NKRI ini adalah kerugian bagi sepakbola Indonesia, seperti halnya sumber bakat lain yang telah melepaskan diri dari Indonesia, Timor Leste.
Tanpa meremehkan bakat – bakat dari berbagai provinsi di Indonesia di tubuh timnas, kehadiran Papua ditimnas membuat timnas betul – betul berbeda dari kualitas permainan.
Kita butuh kecepatan mereka, kita butuh kaki – kaki mereka yang lincah. Tidak ada keraguan tentang itu.
Saatnya PSSI mengkoreksi apa yang dilalaikan oleh PSSI dahulu. Pembinaan sepakbola Papua. Jika perlu dirikan fasilitas latihan level internasional disana, jika perlu cari kerjasama dengan klub – klub Eropa untuk membangun tim satelit seperti Ajax Cape Town Afrika Selatan. Secara bertahap pembangunan sepakbola rasanya harus dimulai dari Timur Indonesia baru kemudian setahap demi setahap ke arah Barat.
PSSI kabinet Djohar seharusnya sudah memikirkan hal ini, bukan hanya memikirkan bagaimana caranya balas dendam, bagaimana caranya balik modal lewat kompetisi. Ingat mereka berjanji revolusi, bukan demolisi sepakbola Indonesia.
Papua sudah tidak bisa lagi diberikan janji – janji manis ala politisi yang kini memenuhi PSSI. Papua harus secepatnya dirangkul, diperhatikan.
Bakat – bakat anak Papua rasanya akan terus hadir ditimnas, namun selama PSSI masih mengabaikan mereka, maka kilau mereka mungkin tak akan penuh bersinar. Bahkan lebih parah lagi selama Pemerintah mengabaikan mereka, mungkin suatu saat akan ada referendum disana, apalagi jika pemerintah kalah oleh tekanan asing.
Jangan sepelekan Papua karena disana bibit – bibit masa depan sepakbola Indonesia siap disemai.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar