Oleh: Muh. Azhar Syafrudin
“Kami melahirkan dan membina IMM dengan
maksud mempersiapkan masa depan Muhammadiyah dengan tenaga yang terlatih, baik
dalam bidang ilmiah maupun dibidang amaliah, namun Muhammadiyah sebagai
predikat IMM itu sendiri adalah sebagai jaminan bahwa IMM bukanlah suatu
organisasi yang berdiri sendiri. Ia adalah organisasi yang seazaz, tidak
terpisah dan tidak dapat dipisahkan dari Muhammadiyah. Ia merupakan organisasi
yang bertindak mengatur, menertibkan dan menyalurkan aktifitas mahasiswa
anggota-anggotanya dalam kedudukan sebagai organisasi kader Muhammadiyah (Alm.
Djasman Al-Kindi, Ketua Utama DPP IMM Pertama - Cucu Kyai Dahlan).”
Agen
perubahan atau agent of social change,
demikian julukan yang diberikan masyarakat terhadap mahasiswa. Dengan julukan
seperti itu barangkali menjadikan aktifis IMM, sebagai bagian dari mahasiswa
merasa bangga. Julukan seperti itu, dalam konteksnya yang tersendiri, tentu
diberikan oleh masyarakat dengan melihat realitas historis masa lampau
mahasiswa. Artinya, mahasiswa dalam sejarahnya, sejak masa perang kemerdekaan
hingga penggulingan orde baru (serta reformasi) memiliki peran yang signifikan,
untuk tidak mengatakan paling penting.
Tentunya
peran perubahan tersebut tidak semata-mata terjadi secara alamiah dan tanpa
rekayasa. Dalam sejarahnya, untuk dimilikinya julukan seperti diatas, mahasiswa
harus melalui proses penempaan potensi yang panjang. Proses ini tentunya mutlak
memerlukan wadah, yang sering kita sebut organisasi. Dengan inilah gerakan
Mahasiswa menjadi lebih terarah. Sebab, dalam organisasilah, sang mahasiswa
dididik untuk secara langsung merasakan dan berhadapan dengan realitas problem
kemasyarakatan sekaligus ditumbuhkan nalar dan keterlibatannya untuk turut,
secara terorganisir memberikan solusinya.
Oleh
karena itu dapat diyakini, secara historis Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM) juga
memiliki nada gerakkan yang sebangun dengan pendahuluan yang dikemukakan diawal
tulisan. Ya, alasan rasional dan logis kelahiran IMM, termasuk ORTOM
yang lain,
adalah untuk mewadahi aspirasi perjuangan dalam upaya menghimpun, menggerakkan
serta menggembleng potensi kaum muda Muhammadiyah, guna meningkatkan peran dan
tanggungjawabnya sebagai kader persyarikatan, kader umat dan kader bangsa.
Dari
sini diharapkan, organisasi ini mampu menyemaikan kader-kader bangsa yang
memancarkan kepribadian Muhammadiyah dengan kerangka pikir ilmu yang amaliyah, dan amal
yang ilmiah. Sebuah cara pandang gerakkan intelektual dan kecendekiaan yang
mempertautkan gerakkan ilmu dengan gerakkan sosial, yang memiliki orientasi dan
kepentingan sesuai tuntutan zaman. Oleh karenanya, wajib kiranya bagi
kader-kader Muhammadiyah yang bergerak melalui IMM, mengerti dan memahami betul
profil dari aktifis gerakkan ini (IMM) yang akan mengarahkan langkahnya menuju
gerakkan seperti yang dicita-citakan diatas.
Mengingat Sejarah
Untuk
memahami cita-cita mendasar didirikannya IMM tersebut kita dapat memahami penjelasan-penjelasan
berikut, yang penulis sarikan dari penelusuran singkat kepustakaan yang
dilakukan oleh Ahmad Furqany (mantan aktifis IMM dilingkup Jawa Tengah) dan
didasarkan pada buku “resmi” IMM, yakni; Kelahiran
Yang di Persoalkan, karya Kanda Farid Fathoni serta Profil Kader IMM, yang terdapat dalam salah satu pedoman kader IMM
(Jawa Tengah).
Ada beberapa asumsi yang
sering dikemukakan diseputar kelahiran IMM, mulai dari yang bersifat “positif”
sampai yang bernada “negatif”. Tetapi, yang sangat mengganjal dihati kita
adalah pernyataan, bahwa kelahiran IMM sejatinya patut dipersoalkan, karena
peristiwa sejarah yang melingkupi kelahirannya hanya merupakan peristiwa
kebetulan saja, yang kemudian membuka peluang bagi sekelompok Mahasiswa
(“dipimpin” oleh Djasman Alkindi) dan berafiliasi terhadap Muhammadiyah, untuk
mendirikan IMM.
Peristiwa itu
adalah, adanya isu yang menyebutkan bahwa HMI akan dibubarkan oleh PKI pada
menjelang peristiwa meletusnya G 30 S/ PKI, yang sekarang terkuak banyak
persoalan didalamnya. Oleh karenanya, ketika HMI tidak jadi bubar, maka
semestinya IMM juga tidak perlu lahir. Sebab pada waktu itu, dan kita juga
harus jujur mengakui, hingga saat ini, banyak kader-kader mahasiswa
Muhammadiyah yang berproses melalui HMI.
Jika dilihat
secara historis ide dan gagasan kelahiran IMM, mestinya asumsi yang mengatakan
hal tersebut, walaupun juga didasari bukti-bukti seperti yang terdapat dalam
beberapa sumber, mudah sekali untuk dipatahkan argumennya. Karena, disamping
HMI sejak dahulu hingga sekarang memang tidak pernah menyebutkan sebagai
organisasi berafiliasi ke Muhammadiyah (walau juga secara ideasional banyak
kesamaannya), analisis tersebut jauh dari fakta-fakta yang dimiliki oleh
dokumen-dokumen resmi Muhammadiyah, diantaranya yang menyebutkan bahwa kelahiran
IMM sudah mulai dibicarakan jauh sebelum tahun 1964.
IMM,
yang pada waktu didirikan jatuh pada tanggal 29 Syawal 1384 H atau bertepatan
dengan 14 Maret 1964 M, di Yogyakarta, merupakan organisasi gerakkan mahasiswa
Islam yang secara struktural tidak berbeda jauh dengan organisasi otonom
dibawah naungan Muhammadiyah (ORTOM) lainnya. Berdasarkan tilikan historis,
kelahiran IMM bukanlah kebetulan sejarah yang tidak memiliki landasan, karena sejatinya
ia adalah satu proses yang tumbuh dan bertumpu pada perwujudan sikap serta
kesadaran akan makna dan tanggungjawab perjuangannya dalam melaksanakan dan
mengemban misi Persyarikatan Muhammadiyah.
Kelahirannya
sudah mulai dibicarakan mulai tahun 1936 melalui keputusan Muktamar
Muhammadiyah yang ke-25 (kongres seperempat abad Muhammadiyah) di Jakarta. Pada saat itu,
Muhammdiyah berkeinginan mengadakan pembinaan kader dilingkungan mahasiswa
berupa pendirian perguruan tinggi. Lantas bagaimana pembinaan mahasiswa untuk
Muhammadiyah ?
Muhammadiyah pada
waktu itu merasa dan menganggap bahwa Pemuda Muhammadiyah dan Nasyiatul
‘Aisyiyah masih mampu mewadahi untuk penumbuhan kader-kader dilingkup
Mahasiswa. Pada sisi lain, memang ada sekelompok orang-orang Muhammadiyah yang
merasa, bahwa HMI juga dapat mewadahi keinginan untuk pembinaan dikalangan mahasiswa
Muhammadiyah, terutama yang memang waktu mudanya dibesarkan oleh HMI.
Memang, HMI
dan Muhammadiyah sebelum kelahiran IMM secara resmi, ada hubungan tidak
kentara, disamping realitas bahwa, Lafran Pane ketika mau mendirikan HMI,
bertukar pikiran dahulu dengan Prof. Abdul Kahar Muzakir (tokoh Muhammadiyah
ditingkat pusat) dan beliau pun setuju. Disisi lain, diantara penggagas
pendirian HMI terdapat nama-nama seperti Maesaroh Hilal aktifis NA. (cucu Kyai
Dahlan juga), Yusdi Ghozali, Anton Timur Jaelani.
Pada tahun
1956 pada Muktamar Muhammadiyah yang ke-33 di Palembang disetujui untuk
didirikan Perguruan Tinggi Muhammadiyah. Hanya pada saat itu IMM belum mampu
untuk dilahirkan, karena berbagai alasan diantaranya seperti yang telah
dijelaskan, serta dikhawatirkan terjadinya dualisme. Tetapi, melihat situasi
yang mengkotak-kotakkan mahasiswa (terutama dalam kehidupan kampus) yang
berorientasi politik praktis, maka Muhammadiyah perlu membentuk Badan
Pendidikan Kader (BPK) yang salah satunya diberi tugas untuk menyelenggarakan
pengajian bagi para mahasiswa yang dimulai pada bulan Juli 1958 di gedung Balai
Muhammadiyah, Yogyakarta. Inilah yang menjadi embrio awal dari berdirinya IMM.
Akhirnya, pada
tahun 1961, yaitu pada saat menjelang Muktamar Muhammadiyah ketika itu,
diadakan kongres mahasiswa Muhammadiyah di Yogyakarta. Maka dihembuskanlah
sekuat-kuatnya gagasan pendirian IMM, akhirnya lahirlah Lembaga Dakwah
Muhammadiyah (LDM) yang dikoordinir oleh Ir. Margono (UGM), dr. Sudibyo Markus
(UGM), Drs. Rosyad Sholeh (IAIN) dan Djasman Al Kindi (UGM). LDM inilah
merupakan embrio operasional akhir yang bertugas mempersiapkan dan membidani
lahirnya IMM dan dimotori oleh Djasman Al Kindi sebagai founding fathers IMM. Maka, pada tahun 1964 lahirlah IMM.
Pada saat
didirikan itulah IMM kembali menegaskan kesejatian dirinya, yakni ingin “mengusahakan terbentuknya akademisi Islam
dalam rangka mencapai tujuan Muhammadiyah”. Tetapi setelah muktamar IMM
ke-5 di Padang,
Sumatra Barat pada tanggal 14-18 April 1986 tujuannya kemudian diubah menjadi “Mengusahakan terbentuknya akademisi Islam
yang berakhlak mulia dalam rangka mencapai tujuan Muhammadiyah” (Bab II
pasal 6 AD IMM).
Selain itu,
identitas diri IMM juga telah dideklarasikan, yang kemudian semangat dan inspirasinya
terus menerus dideklarasikan pada berbagai “manifesto” sejarah perjalanan
(baca; perjuangan) IMM. Identitas tersebut yakni, IMM adalah organisasi yang
bergerak dibidang keagamaan,
kemasyarakatan, dan kemahasiswaan dalam rangka mencapai tujuan Muhammadiyah.
Maka,
penegasan identitas tersebut mengandaikan sebuah imajinasi intelektual, melalui
pendekatan triadik, bahwa akhirnya kader IMM harus memiliki profil yang
menggambarkan terinternalisasinya kompetensi-kompetensi yang memenuhi peran
pemenuhan identitas IMM. Akhirnya, Imajinasi wujud kader itu tergambarkan
memiliki tiga kompetensi, sebagai pengandaian identitas, yakni Religiusitas, Intelektualitas dan Humanitas.
Demikianlah jika kita ingin mengetahui sejarah kemunculan identitas dan
profil kader IMM.
Kompetensi Kader
Berikut ini akan
dijabarkan pemahaman tiga kompetensi diatas, dengan upaya pembacaan yang “lebih
baru”. Apalagi, secara teoritik IMM sekarang telah memiliki “panduan ideologis”
baru yang, secara jujur membuat penulis tersenyum dan mantap melihat masa depan
IMM, dengan terbitnya buku berjudul, Manifesto
Gerakkan Intelektual Profetik IMM. Kebetulan penulisnya, Abdul Halim S. adalah
adik dari rekan penulis sewaktu berproses di Pimpinan Cabang IMM Sukoharjo,
sekaligus berasal dari kota yang sama, yakni Cilacap. PC IMM Sukoharjo adalah sebuah
cabang, yang karena paradigma keilmuan gerakkannya telah terbangun dengan cukup
baik, berhasil melahirkan beberapa cendekiawan muda Muhammadiyah yang berintegritas
seperti, kanda Zakiyuddin B., Syamsul H., Ahmad Norma P., Fajar R., dan M.
Jinan. Hal Ini dimaksudkan supaya pemahaman tiga kompetensi yang ada dapat
lebih memberi landasan nilai-nilai untuk kemudian diimplementasikan dalam
realitas sosial, sehingga kader pada akhirnya akan mencirikan wujudnya yang
memang punya ciri khas sebagai identitas “orisinil”nya.
Pertama, Religiusitas. Dalam ranah ini dikandung
maksud, bahwa seorang kader IMM dituntut untuk mampu memformulasikan
nilai-nilai kehidupan yang berjiwa Tauhid. Kader harus sadar bahwa dirinya
adalah seorang pejuang yang memperjuangkan nilai-nilai kebaikan universal dan
kebenaran, dengan genre-nya yang
tersendiri. Maka, dengan semangat Tauhid pada Tuhannya sajalah, sebagai pondasi
dasar masuk ke laboratorium penempaan diri dengan segala kerendahan hati
sebagai khalifah Allah Ta’ala di bumi. Ia harus sadar, fitrah nuraninya
adalah meng-Esakan-Nya. Ini penting,
sebab, dari sini akan memancar berbagai energi positif gerakkan yang tidak akan
pernah habis-habisnya bagi seorang kader IMM.
Prof. DR. Amien
Rais (1998) menjabarkan, bahwa efek lanjut bagi seorang yang telah
terinternalisasasi oleh spirit diatas (baca, Tauhidullah), akan mewujud menjadi lima paket implikasinya dalam bidang sosial. Pertama, unity of godhead atau kesatuan
ketuhanan. Kedua, unity of creation
atau kesatuan penciptaan. Ini mengandung arti, bahwa kita adalah saudara semua
sebagai manusia dan ciptaan-Nya. Ketiga,
unity of mankind atau kesatuan kemanusiaan. Keempat, unity of guidance atau kesatuan pedoman hidup. Kelima, unity of the purpose of life,
atau satu kesatuan tujuan hidup.
Dari
sini jelas diketahui, bahwa seorang kader yang mendasari dirinya dengan
bangunan ilmu Islam yang memfitrah-tauhidkan
rasio dan akalnya, akan sangat dahsyat efeknya. Analisis-analisis permasalahan
terhadap lingkungan sekitarnya akan selalu membawanya memantapkan keimanan. Dia
tidak akan pernah takut pada siapapun kecuali pada-Nya. Ia sangat yakin bahwa
yang ia perjuangkan adalah kebenaran. Disisi lain, jiwanya akan selalu berontak
pada setiap ketidakadilan dan kesenjangan yang ada.
Hal
yang telah tertulis, akan menyebabkan selalu mendorong seorang kader untuk
terus tanpa mengenal lelah melakukan pendampingan-pendampingan, menurut genre dan kemampuannya tersendiri,
terhadap rakyat dilapisan bawah. Ia akan selalu melakukan pengawasan terhadap
kebijakan-kebijakan yang dilakukan oleh para “fir’aun modern”, mulai dari yang sifatnya Individual dan ideologis
hingga institusional, khususnya dalam konteks lokal dimana ia berada.
Disisi
lain, walau pemahaman keagamaannya (nilai-nilai Islam) demikian kokoh dan
ideologis, seorang kader harus memiliki sikap yang terbuka, dalam pengertian
matang, dengan disemangati akhlak agama dan keyakinan, agar tidak tercerabut
dari identitasnya sebagai seorang yang menganut keyakinan, yakni nilai agama
yang universal (rahmatan lil’alamin).
Artinya, sikap
religius seorang kader IMM harus dijadikan simbol revolusi yang mengekspresikan
komitmen yang kuat untuk selalu memperjuangkan keadilan sosial terwujud dalam
bumi, khususnya bumi pertiwi yang sedang terjangkiti penyakit sosial secara
akut ini. Sebagai orang yang religius, mestinya kader harus berpandangan
radikal terhadap keyakinannya tersebut.
Bukankah
ideologi-ideologi selain kapitalisme saja mampu merumuskan asumsi-asumsi dasar
teoritik guna dimunculkannya secara radikal teori-teori perlawanan, dan telah
mampu dalam satu sudut pandang untuk diterapkan, seperti marxisme dengan dialektika
meaterialismenya. Maka sudah selayaknya ada tafsir baru, bahwa sikap
religius harus menjadi kesadaran kolektif yang tumbuh dari rasa keberagamaan
yang radikal dan mantap.
Tafsir baru
tersebut mestinya, paling tidak, harus mewujud dalam dua gerakkan. Pertama, iman sebagai dasar sikap
religius, yang seorang kader anut harus menumbuhkan sikap revolusi individu
kader agar merdeka dari jeratan individualisme kereligiusan melalui vitasilasi
konsep pembacaan keimanan yang kokoh dan berlandaskan pada nilai-nilai
adiluhung Islam. Kedua, diperlukan
revolusi kesadaran kolektif IMM yang memberikan dorongan gerakkan akibat
dimilikinya kesadaran religiusitas tersebut.
Sudah
tentu pandangan itu lebih menekankan kesadaran yang menurut wataknya bersifat
kolektif dibanding dengan kesadaran individual. Maka, sikap religius dalam
konteks sosial juga harus dipandang sebagai perspektif ideologis ketimbang
hanya menjadikannya wacana teologis semata. Maksudnya, pemahaman kereligiusan
yang selama ini terinternalisasi pada kita, harus dikontekstualisasikan kembali
dengan pembacaan yang lebih peka terhadap realitas sosial.
Karena,
seperti yang telah disebutkan, sikap religius (baca; iman), menurut watak
teologisnya sudah memiliki pemihakan yang jelas terhadap realitas sosial yang
timpang dan kesenjangan kehidupan. Ketimpangan tersebut merentang mulai dari
aspek ekonomi, sosial dan bahkan keagamaan. Demikian, mestinya keimanan dalam
Islam mampu menjadi spirit pembebasan bagi kader IMM untuk secara radikal mampu
menggerakkan jiwa-jiwa sosial bagi dirinya. Hanya, yang perlu dicatat, revolusi
yang demikian tidak akan mungkin dapat diwujudkan, manakala tidak ada
artikulator pembentuk opini publik yang “seragam”, dengan mengkampanyekan
tema-tema tentang proyeksi sikap keberagamaan atau kereligiusan yang lebih
memihak. Disinilah letak pentingnya sikap kolektifitas diri dalam menggerakkan
IMM.
Kompetensi
kedua, Intelektualitas. Hal kedua dan
mendasar yang harus dimiliki oleh seorang kader IMM adalah, memenuhi otaknya
dengan ilmu dan pengetahuan (wacana-wacana) terlebih dahulu. Kepala seorang kader
harus terpenuhi, paling tidak secara minimal dengan kerangka-kerangka ilmu,
kerangka-kerangka cara pandang, serta cara menganalisis masalah yang tajam.
Tentu saja, semua itu harus dibarengi dengan sikap keterbukaan yang baik, untuk
menerima segala masukan yang diberikan oleh orang lain.
Sebab,
sebaik apapun analisis dari seorang kader pastinya merupakan refleksi dari
pengalaman pribadinya, baik dari referensi tertulis maupun realitas sosial
sekitarnya, yang semua itu akan terdapat kekurangan pada berbagai sisi-sisinya.
Berdasar hal ini pulalah, seorang kader IMM harus ingat, bahwa segala ilmu dan
pengetahuan yang dicari olehnya, haruslah diniatkan dalam kerangka meningkatkan
keimanan dirinya pada Tuhannya yang Esa.
Potensi
akal dan kemampuan-kemampuan lain yang mencirikan keberbedaaan dengan makhluk
lain harus dimanfaatkan sekuat-kuatnya untuk kepentingan penemuan-penemuan ilmu
dan pengetahuan. M. Hamdani (2001) mengatakan, sebagai suatu indikasi bahwa
suatu karya, pemahaman atau penemuan-penemuan ilmiah, baik yang berkaitan
dengan sains, teknologi ataupun agama merupakan suatu produk yang sia-sia jika
segala apa yang diketemukannya itu tidak mendatangkan kebenaran aplikasi
imannya, tidak memfitrah-tauhidkan
rasio, qalbu dan fisiknya.
Kompetensi
ketiga, Humanitas. Seorang kader
tidak boleh melupakan masyarakat disekitar dirinya. Ia harus bersifat populis,
yakni keberpihakan pada masyarakat dan orang-orang yang terdzalimi. Pendeknya,
justru pilihannya untuk menjadi seorang kader IMM disebabkan, karena keterkaitannya
dengan masyarakat disekitarnya. Ia selalu memliliki sikap simpati dan empati,
dan mencari solusi problem-problem yang ada, sekaligus turut terjun
menyelesaikannya. Paradigma keberpihakan ini oleh Muh. Iqbal dan Kuntowijoyo
sering diistilahkan dengan paradigma
profetik. Sebuah paradigma yang sekarang telah menjadi kajian hangat dalam
rangka mencari peran kecendekiaan kaum intelektual Islam, ditengah problematika
sosial yang semakin komplek, tak terkecuali IMM.
Kita dapat
belajar dari para Nabi dan Rasul. Beliau senantiasa lahir ditengah-tengah masa,
sekaligus sebagai pembebas pula. Nabi Ibrahim berdiri menentang raja Namrudz.
Nabi Musa membela Bani Israil yang lemah melawan Fir’aun yang perkasa. Nabi Isa
datang menggembirakan kaum fuqara dan melecehkan kaisar. Sedang Nabi kita,
Rasulullah Muhammad shallu’alaih
duduk disamping orang miskin dan budak belian, lalu membimbing mereka kearah
kebebasan, keadilan, kesetaraan dan fitrahnya untuk bertauhid pada Allah Ta’ala.
Demikian,
sesungguhnya para Nabi dan Rasul secara implisit telah memberikan basis epistemologi yang jelas dan gamblang dalam peranannya mencari
kebenaran dan merubah masyarakat menjadi lebih tercerahkan, yakni bertauhid
dengan segala implikasinya dalam kehidupan sosial. Sebagaimana dinyatakan oleh
M. Iqbal, seorang pemikir dan pembaharu asal Pakistan, bahwa Nabi Muhammad telah
menyediakan “paradigma profetik”.
Iqbal menjelaskan perbedaan antara cara berpikir dan bertindak yang khas
kenabian, yang lebih disebut sebagai kesadaran
profetik, dengan kesadaran mistik (Zakiyuddin Baidhawy, t.t.).
Mi’raj Nabi
tidak menjadikan Beliau menjadi mistikus yang tenggelam dengan perjumpaan
terhadap Tuhan dan tidak kembali ke Bumi. Tapi, beliau kembali ke Bumi untuk
melakukan perubahan sosial guna mengemban amanah mengubah jalannya sejarah
(agar sesuai dengan aturan Allah Ta’ala).
Inilah dasar utama basis epistemologi baru bagi kader-kader IMM
dalam melakukan peranannya sebagai agen perubahan dalam masyarakat.
Menurut Farid
Fathoni (t.t.) yang juga tokoh IMM, seraya mengutip Ali Syari’ati, seorang
pemikir dan pembaharu kaitannya Islam VS
hegemoni Barat asal Iran, menyebutkan; para Nabi dan Rasul adalah
orang-orang yang lahir dari tengah-tengah massa (ummi), lalu memperoleh tingkat
kesadaran (hikmah) yang sanggup mengubah satu masyarakat yang korup dan beku
menjadi kekuatan yang bergejolak dan kreatif, yang pada gilirannya melahirkan
peradaban, kebudayaan dan pahlawan.
Kekuatan-kekuatan
itu menjadi perlawanan yang tak pernah kalah, yang pada gilirannya
menjadikannya pondasi-pondasi kokoh sejarah kehidupan manusia, yang getarannya
telah mengguncangkan sanubari setiap orang, serta kebanggaannya telah
meneteskan air mata setiap umat yang telah mengerti sejarahnya.
Dalam berbagai
karyanya, Syariati mengistilahkan rausan fikr
bagi orang yang akal fikiran, hati dan amalnya sangat mendalam. Maksudnya
adalah, para intelektual atau cendekiawan, kyai, kaum profesional yang tidak
hanya berpangku tangan melihat segala macam penindasan yang ada disekitarnya.
Rausan fikr adalah para minoritas
kreatif (creative minority), yang
selalu rindu perubahan. Ia merindukan keadilan, sebagai salah satu prinsip
Islam, untuk hadir ditengah-tengah dunia. Baginya, hidup adalah perjuangan
menuju makna. Makna untuk menjadi kesejatian, sebab ia adalah penerus
pembebasan dan kesadaran para Nabi dan Rasul. Ia berjuang dengan tulusnya,
muncul dan membela kaum tertindas bukan untuk terkenal, bukan untuk diekspos,
bukan pula untuk dikatakan pahlawan.
Tetapi, juga
sudah kepastian, seorang rausan akan
dapat pahala dari Rab-nya. Paling tidak pahala keabadian, yang dengannya akan
selalu dikenang sepanjang masa, sampai akhirnya akan berjumpa dengannya. Hanya
saja seorang rausan “pasti” lebih
tinggi derajatnya dari orang-orang kebanyakan. Paradigma seorang rausan adalah menjadi “penerus cita para
nabi” yang senantiasa berpikir dan bergerak ala nabi, khususnya dalam melakukan
peranannya sebagai kelompok minoritas yang memiliki kesadaran pembelaan tulus.
Ia adalah insan kamil, yang memiliki hikmah-hikmah
akan realitas yang sangat mendalam sehingga dijuluki, diantaranya ulul al-Bab, sebagaimana dapat dilihat
dalam al-Qur’an Surat Ali-‘imran ayat 7 dan 190 serta Surat An-Nisa’ ayat 4.
Landasan berpikir kenabian seperti inilah yang harus menjadi dasar guna
digerakkannya roda perjuangan IMM.
Zakiyuddin,
seorang pakar yang juga alumni IMM menjabarkan operasionalisasi paradigma
kenabian tersebut dengan tiga aras gerakkan sebagai perwujudan praksis profetis. Pertama, teori kritik masyarakat. Yakni suatu kritik yang konsisten
dan kohern terhadap masyarakat yang ada. Masalah-masalah yang terjadi dalam
masyarakat muslim dilapisan kehidupan sosial, ekonomi dan politik harus
dikritik secara menyeluruh, sistematik dan kohern.
Kedua, teori normatif masyarakat, yakni
suatu model masyarakat dimana penyakit-penyakit sosial dapat dieliminasi.
Kesalahan-kesalahan masyarakat ditunjukkan dan diberikan pedoman yang benar
atas masyarakat yang ada. Ketiga, revolusi praksis, suatu strategi
aksi sosial yang bertujuan untuk mengubah, mereformasi atau memetamorfosa masyarakat. Dalam tahap
ini dibutuhakn teori aksi sosial atau praksis yang mengandaikan sarana yang praktis, visible dan viable untuk
mencapai tujuan perubahan, reformasi dan transformasi masyarakat secara
rasional, adil, dan benar.
Demikianlah
kompetensi dasar yang dimiliki IMM. Tiga kompetensi dasar tersebut, apabila
benar-benar terinternalisasi pada seorang kader, akan menjadikan kader IMM adalah
kelompok minoritas kreatif (creative
minority) yang selalu mencari dan memihak pada kebenaran dan kebaikan. Oleh
karenanya, ia selalu melakukan pembelaan terhadap siapapun yang terdzalimi,
tertindas atau diperlakukan tidak adil, baik oleh sistem ataupun perorangan,
tanpa memandang pemahaman keagamaan, hubungan organisasionalnya, atau bahkan
agamanya.
Gambaran
seperti itu sejatinya adalah wujud ideal kekaderan yang bersifat normatif-ideologis. Oleh karenanya,
perwujudan real dalam wajah kenyataan kontemporer harus dikontekstualisasikan
dengan berbagai problem yang terdapat dalam realitas masyarakat sehari-hari
kader-kader IMM. Tanpanya, upaya menjadikan IMM agar selalu terikat dengan alam
kebumian menjadi angan-angan kosong belaka. Berangkat dari sini, upaya membaca
problematika kontemporer adalah kemestian, yang menjadi kewajiban IMM agar,
sekali lagi, mampu mewujudkan cita-cita
kekaderan IMM di era kontemporer. Berikut digambarkan secara singkat realitas
problem kontemporer yang mengemuka dihadapan kita.
Problem Kontemporer
Sangat
panjang sejatinya jika ingin mengkaji problem kontemporer untuk dilihat secara
obyektif sisi-sisi positif dan negatifnya secara mendalam, berkaitan dengan
dampaknya, khususnya tentang keyakinan kita, bahwa problem kontemporer kita
disebabkan oleh ideologi “kolonialisme” yang telah bermetamorfosa sekaligus bermimikri
terhadap bangsa-bangsa di dunia ketiga atau negara berkembang, termasuk negeri
kita Indonesia.
Sehingga,
tanpa bermaksud melakukan simplifikasi atau penyederhanaan masalah, peran-peran
kesejarahan IMM dapat digagas dengan cerdas. Ini sangat penting, sebab dipundak
IMM juga diletakkan, sebagai bagian “orang”, yang bertanggungjawab guna
terbangunnya umat secara khusus dan bangsa Indonesia secara umum agar lebih
berdaya manghadapi tantangan-tantangan kontemporer yang sangat rumit untuk
dipetakan. Tidak sesederhana problem-problem masa lalu yang pernah menghadang
umat, yang dalam satu sudut pandang “berhasil” dilawan.
Sejak
Adam Smit mulai menggulirkan paham liberalismenya dalam the Wealth of Nations (1776), maka mulai
saat itu, pelan-pelan pada awalnya tapi pasti pergerakkannya, kapitalisme telah
muncul sebagai ideologi pembangunan yang pilih tanding. Ia telah mampu
memberikan dasar guna terbangunnya tata kehidupan ekonomi yang baru dan lebih
mengarah pada keberhasilan manusia meningkatkan kesejahteraan bagi dirinya
tanpa batas. Teori Adam Smit itu lebih dikenal dengan teori ekonomi liberal.
Teori yang
didasarkan pada capital, bukan dalam
pengertian sempit uang semata, sebagaimana sering dipahami oleh kebanyakan
orang, dan sering disebut kapitalisme, ditujukan sebagai maksud agar
kesejahteraan dan kemakmuran bagi manusia dapat segera tercapai dengan cepat.
Diantara prinsip-prinsip mendasar kapitalisme-liberal ini adalah, bahwa pasar,
berdasar pada prinsip-prinsip penawaran dan permintaan, sejatinya dapat
mengatur dirinya sendiri yang berlandaskan pada titik keseimbangan penawaran
dan permintaan.
Oleh
karenanya, sebagai prinsip yang lebih lanjut, mekanisme ini, menuntut tidak
adanya campur tangan oleh siapapun, terutama oleh campur tangan pemerintah
(atau negara). Pemerintah dalam konteks liberalisasi tidak diperkenankan
menginfiltrasi pasar dengan membuat regulasi-regulasi tertentu, sehingga mampu
mempengaruhi prinsip-prinsip keseimbangan pasar dalam kehidupan berekonomi.
Dari sinilah kemudian, dalam sejarahnya prinsip-prinsip yang lebih dikenal
sebagai demokrasi ekonomi liberal
terus berkembang menjadi ideologi kapitalisme yang sangat kuat, karena secara
terus menerus mengalami penyempurnaan.
Mansour Fakih
(2002), menganalisis, proses perkembangan kapitalisme pada dasarnya dapat
dibagi menjadi tiga periode formasi sosial. Fase itu adalah kolonialisme, neo kolonialisme, dan
terakhir (hingga sekarang), adalah globalisasi.
Ketiga-tiganya adalah fase-fase formasi sosial yang merupakan proses
berkembangnya ideologi kapitalisme, dan telah menyebabkan, hingga saat ini,
krisis pembangunan yang luar biasa bagi negara-negara berkembang dan miskin.
Sebab, sejatinya ideologi ini berprinsip ala hutan rimba, sebagai perwujudan
dominsi manusia atas manusia yang berlandaskan pada kebebasan pasar. Berikut
penjelasan secara singkat dari masing-masing formasi sosial itu.
Pertama, periode kolonialisme. Periode ini merupakan fase dimana perkembangan
kapitalisme di Eropa mengharuskan ekspansi secara fisik untuk memastikan
perolehan bahan baku
mentah. Melalui fase kolonialisme inilah, proses dominasi manusia dengan
segenap teori perubahan sosial yang mendukungnya telah terjadi dalam bentuk
penjajahan secara langsung selama ratusan tahun. Kolonialisme dengan jenis
fisik ini berjalan sangat lama hingga berakhir sekitar lima puluh tahun, segera setelah berakhirnya
perang dunia II yang ditandai juga berakhirnya kolonialisme fisik dengan
revolusi di negara jajahan. Walaupun sesungguhnya masih banyak negara Afrika,
pada saat itu, yang baru dapat merdeka tahun tujuh puluhan.
Kedua, berakhirnya era kolonialisme,
dunia memasuki era neo kolonialisme,
dimana modus dominasi dan penjajahan tidak lagi fisik dan secara langsung,
sebagaimana terjadi pada periode kolonialisme, melainkan melalui penjajahan
yang lebih bersifat teori dan ideologi. Fase ini lebih dikenal sebagai era developmentalisme (pembangunanisme).
Periode ini ditandai dengan masa kemerdekaan negara-negara Dunia Ketiga secara
fisik. Namun pada era ini dominasi negara-negara bekas penjajah terhadap bekas
koloni mereka tetap dilanggengkan melalui kontrol terhadap teori dan proses
perubahan sosial.
Orde Baru
sangat mengagumi mazhab ini dengan berbagai pola-pola modernisasi secara utuh
sebagai dasarnya. Padahal, sesungguhnya teori pembangunan ataupun paham developmentalisme menjadi bagian dari
media dominasi, karena pendirian neoliberalisme ini pada prinsipnya tidak
bergeser dari liberalisme yang dipikirkan Adam Smit seperti tersebut
sebelumnya, sehingga masa ini, dan pada titik tertentu sekarang, sering disebut
sebagai neoliberal sebagai
ideologinya. Akan tetapi, krisis berkepanjangan menimpa kapitalisme awal abad
XIX, yang berdampak depresi ekonomi tahun tiga puluhan.
Ketiga, perjalanan kapitalisme
selanjutnya sampai di akhir abad XX, yang ditandai dengan pertumbuhan dan
akumulasi kapital dari golongan kapitalis semakin melambat. Salah satu sebabnya
adalah, paham keadilan sosial, proteksi, kesejahteraan bagi rakyat, berbagai
tradisi adat pengelolaan sumber daya alam berbasis rakyat, dan sebagainya. Oleh
karenanya, kapitalisme memerlukan strategi baru untuk menyingkirkan penghalang
pertumbuhan dari akumulasi modal. Untuk itu, diperlukan suatu tatanan
perdagangan global, maka sejak itulah gagasan globalisasi dimunculkan.
Dari paparan
yang telah dijelaskan sebelumnya, sangat jelas diketahui, hakekat globalisasi
sesungguhnya adalah perkembangan yang lebih lanjut dari kapitalisme awal yang
pada dasarnya berpijak pada kebangkitan kembali liberalisme, suatu paham yang
dikenal sebagai neoliberalisme
(kapitalisme) yang sangat individualistik dan eksploitatif. Mengapa
demikian, sebab pada hakekatnya, semua yang berkepentingan dengan hal diatas
hanyalah segelintir orang yang memiliki modal besar (kapital) seperti yang
terdapat dalam jaringan TNCS (Trans
National corporation) dan NCS (National
Corporation).
Disamping
itu, sebelum berubah menjadi globalisasi, paham developmentalisme mengalami berbagai paradoks menjelang masa metamorfosanya. Paradoks yang dimaksud
bisa digambarkan pada perubahan mendasar yang terjadi pada struktur kehidupan
manusianya, termasuk di Indonesia,
yang merentang dari aspek ekonomi, politik, sosial-budaya, termasuk aspek
terdalam dari kehidupannya, yakni agama.
Kita
dapat melihat, hingga hari ini, kehidupan masyarakat berjalan tidak mensejarah,
individualisme telah muncul. Mereka lebih suka menonton layar kaca, ke bioskop,
pergi berbelanja (konsumerisme) dan hura-hura. Budaya pop merambah, termasuk
juga free sex muncul sebagai sebuah
ideologi baru. Individualisme teknologi komunikasi telah menjadikan komunikasi
menjadi maya, sehingga realitas masyarakat yang sebelumnya bergerak secara
historis berubah, untuk akhirnya realitas masyarakat berubah menjadi hiper.
Modernisasi
telah membuldozer segala yang tidak sesuai dengan jalannya. Contoh kecil saja,
pola-pola kehidupan kultural pertanian dengan local geniusnya yang telah berhasil memberi makan manusia selama
ribuan tahun, tergusur oleh pola teknologi modern, dan menganggapnya telah
usang dan tradisional, sehingga harus dibuang. Bahkan sampai pada agamapun
dikesampingkan, yang mengakibatkan tidak dimilikinya nilai-nilai yang bersifat
universal, sebab apapun yang dilakukan orang memiliki justifikasi sebagai
kebebasan (dan sekaligus kebenaran menurut mereka). Manusia yang kuatlah yang
akhirnya menang, yakni yang memiliki modal, akses jaringan, informasi dsb. Alam
telah rusak karena dieksploitasi tanpa pertimbangan nilai-nilai.
Demikianlah,
paradoks yang terjadi pada kapitalisme dan liberalisme yang telah berubah ke
fase developmentalisme pada akhir
abad ke-20. Tetapi, hemat penulis bukan karena hal itu saja sebagai alasan
(yang terpenting) dari ideologi kapitalisme klasik, untuk bermetamorfosa lagi
menjadi globalisasi. Namun, lebih disebabkan karena menurunnya akumulasi capital (keuntungan) para
perusahaan-perusahaan raksasa sebagai penopang utama isu globalisasi. Krisis
moneter era kontemporer juga menjadi starting
point bagi semakin digulirkannya paradigma globalisasi yang masih berpijak
pada ideologinya Adam Smith itu.
Walau sejatinya,
menurut Mansour Fakih (2002), globalisasi
kapitalisme atau globalisasi
korporasi terjadi sejak diberlakukannya secara global suatu mekanisme
perdagangan melalui penciptaan kebijakan “free
trade”, yakni berhasil ditandatanganinya kesepakatan internasional tentang
perdagangan, pada bulan April 1994, setelah melalui proses yang sangat sulit di
Marrakesh, Maroko, yakni suatu perjanjian internasional perdagangan yang
dikenal dengan GATT. Ia sesungguhnya merupakan suatu kumpulan aturan
internasional yang mengatur perilaku perdagangan antar pemerintah, serta
merupakan pengadilan dimana jika terjadi perselisihan dagang antara
bangsa-bangsa bisa diselesaikan.
Pada
tahun 1995 suatu organisasi pengawasan perdagangan dan kontrol perdagangan
dunia yang dikenal dengan WTO didirikan, dan sejak saat itu dia mengambil alih
fungsi GATT. Sejak saat itulah kemudian muncul forum-forum serupa yang lebih
rendah tingkatnya, sebagai tiang globalisasi, diantaranya NAFTA (North American Free Trade Agreement),
APEC (Asia Pacific Economic Conference),
SIJORI (Singapore,
Johor, and Riau), BIMPEAGA (Brunei, Indonesia,
Malaysia,
and Philipines East Growth Area), dll. Dari sini terkandung arti, pada
dasarnya globalisasi merupakan proses pesatnya perkembangan kapitalisme, yang
ditandai dengan globalisasi pasar, investasi dan proses produksi dari
perusahaan-perusahaan Trans Nasional (TNCS/
Trans National Corporatioan) dengan dukungan lembaga-lembaga finansial
internasional (IFIS/ International
Financial Institutions) semacam World
Bank dan IMF.
Melihat
gambaran formasi sosial globalisasi diatas, nampaknya globalisasi melahirkan
kecemasan bagi negara-negara yang, dengan kemunculannya sangat tidak
diuntungkan seperti Indonesia.
Sebab, negara-negara miskin di muka bumi ini masih menghadapi warisan mazhab
pembangunanisme era 80-an yang lebih meninggalkan beban hutang luar biasa
besarnya, karena biaya mazhab pembangunan model trickle down effect, suatu paradigma mainstream yang berakar pada
paradigma dan teori ekonomi neoklasik
dan modernisasi, seperti ditemukan oleh ekonom W.W. Rostow dengan growth theory dan Mc Clelland serta
Inkeles yang mengembangkan teori modernisasi. Permasalahan diseputar kemiskinan
dan marginalisasi rakyat, serta persoalan disekitar keadilan sosial juga masih
tersisa.
Maka,
metamorfosa developmentalisme ke
globalisasi, alih-alih menjawab dan menyelesaikan persoalan, malahan semakin
memperbesarnya dan bahkan menambahnya menjadi lebih berat. Seperti, persoalan
penyeragaman kebudayaan manusia, hilangnya batas negara-bangsa secara politik,
ekonomi dan sosial, jurang kemiskinan antara pusat-pusat kemakmuran dan
pinggiran, yang semakin lebar. Disisi lainnya, globalisasi justru berubah
menjadi imperialisme gaya
baru yang lebih berekses negatif bagi negara-negara yang tidak siap menerimanya.
Bagi
negara-negara berkembang, termasuk Indonesia, imperialisme baru ini
hanya menyisakan wajah masyarakat tertindas dalam segala aspek kehidupan.
Keterbelakangan, kemiskinan, ketidakberdayaan dan kebodohan telah menjadi wajah
sehari-harinya. Ini merupakan kejahatan terbesar kaum kolonialis, kaum yang
dinamakan sebagi pelayan agung bagi manusia modern, yang sekular, menderita dan
sedih secara spiritual dan kemanusiaan.
Kontekstualisasi
Itulah
tantangan-tantangannya. Ia merentang, sebagaimana kita lihat, dari yang
bersifat dalam, seperti spiritualitas, hingga ke ranah yang paling luar,
seperti kehidupan sosial dan ekonomi kita. Maka tafsir baru kita adalah
implementasi sifat liberatif gerakkan. Seluruh kader-kader IMM karena sadar
akan identitas dan profilnya, wajib melakukan pembebasan, baik untuk dirinya
sendiri, termasuk juga terhadap masyarakat sekitarnya. Globalisasi (dapat
dibaca; kolonialisme baru), sebagai kelanjutan kolonialisme klasik harus
“dilawan”. Perlawanan disini tidak serta-merta dengan menolak keseluruhan
globalisasi. Penulis dalam konteks wacana globalisasi sepakat dengan pemikiran
Mansour Fakih (2002) yang menginginkan wacana tanding terhadap globalisasi, dan
dalam hal ini adalah globalisasi korporasi yang didasarkan pada prinsip
neoliberalisme serta paham pasar bebas, yang lebih tepat disebut globalisasi korporasi liberalisme ekonomi.
Kita
memerlukan wacana tanding terhadap paham globalisasi
korporasi - pasar liberal dominan ini, yakni globalisasi dari perspektif
rakyat miskin, petani kecil, kaum perempuan, penderita AIDS dan kaum marginal
lainnya, termasuk IMM (bukankah keberpihakan pada kebenaran dan keadilan sosial
di era sekarang adalah marginal?) dan juga barangkali para guru yang tidak
mendapatkan penghargaan sebagaimana mestinya masuk didalamnya. Globalisasi yang
dimaksud adalah suatu model ekonomi yang mengembalikan peran negara untuk
mengatur ekonomi dan politik. Perusahaan TNCs harus dibatasi dan kebebasan
justru harus diberikan kepada rakyat. Pajak harus dipindahkan dari membebani
rakyat miskin agar bergeser pada mereka yang kaya, sementara subsidi harus
diberikan pada rakyat.
Disinilah
letaknya implementasi dari kontekstualisasi identitas dan profil kader IMM di
negeri ini, yakni menjadi partnership
kritis pada elit pemerintah, sekaligus menjadi pembela yang cerdas terhadap
kepentingan kaum marginal, yang merentang dari petani penggarap miskin hinggga
buruh pabrik yang tereksploitasi. Lihatlah satu contoh mengenaskan, betapa
pemilu kita “sudah” demokratis dipilih oleh rakyat, yang semestinya bekerja
untuk dan mengabdi pada kepentingan rakyat, tetapi malah yang ditakuti adalah
kekuatan asing melalui perusahaan-perusahaan TNCs yang eksploitatif melalui dua
kaki globalisasi korporasinya, yaitu
IMF dan World Bank.
Kita
dapat melihat seringkali kita bagaikan “kerbau dicocok hidungnya” bila
berhadapan dengan kekuatan asing. Kita tidak menyalahkan sepenuhnya. Sebab,
langkah-langkah yang dilakukan seperti penghapusan subsidi BBM, privatisasi
BUMN dan kebijakan tak membela kaum marginal lainnya pasti sudah atas
pertimbangan yang matang. Justru disinilah letaknya, pembelaan secara kritis
yang dapat dilakukan para kader-kader IMM di negeri ini.
Dari sinilah,
paling tidak ada tiga peran pokok yang dapat dilakukan para cendekiawan (atau
intelektual) kita, disamping secara terus menerus memberikan wacana tanding globalisasi korporasi yang berpijak pada
kapitalisme liberalnya. Untuk
implementasinya secara lebih spesifik, tentunya kawan-kawan IMM lebih pandai
melakukan pembacaan.
Pertama, karena globalisasi mencoba
meminggirkan peran-peran agama atau keyakinan-keyakinan yang didasarkan pada
sesuatu yang “diluar sana”, dan menganggapnya sebagai suatu tahap perkembangan
masyarakat yang “paling primitif”, maka para kader-kader IMM harus mampu
merumuskan formula-formula yang membuktikan manusia tidak akan dapat lepas dari
agama. Baik dalam pengertian institusional
maupun substansial (spiritual).
Lihatlah kredo
bahwa masyarakat berkembang paling tidak pada tiga tahapan, yakni; mistis, ideologis, ilmiah dalam
pengertian kaku bahwa setelah dari tahap agama, kemudian ideologi, dan terakhir
adalah rasionalitas-empiris pada
akhirnya, sebagi tahap terbaik dari perkembangan manusia, seperti diyakini para
pendukung era globalisasi secara umum. Dengan memberikan penekanan yang
berimbang pada aspek formal dan spiritual, agama (Islam) akan menjadi
alternatif jawaban dari gerakkan new age, sebagai misal. Sebagaimana
diketahui, gerakkan new age sebagai pseudo-religion, sesungguhnya sebentuk
pelarian kaum modern yang telah merasa kekeringan fitrah spiritualnya, tetapi
tidak mau terikat dengan sesuatu yang begitu establish atau institustional.
Tawaran-tawaran
agama yang lebih memperhatikan isu-isu kontemporer dan mampu memberikan
kepastian akan penyelesaian problem-problem kekinian seperti ekologi,
kemiskinan, keterpinggiran kaum kecil dan sebagainya, akan lebih menguatkan
peran agama sebagai sesuatu yang mesti dijadikan pijakan dalam menjalani hidup
dan kehidupan para manusia modern. Disamping itu, tawaran-tawaran agama “mapan”
akan spiritualitasnya, dibanding dengan, jika hanya menonjolkan aspek
formalnya, menyebabkan agama lebih mudah diterima. Kerena, kemanfaatannya dapat
dirasakan oleh seluruh umat manusia walaupun ia diluar agama tersebut, yang
dalam Islam sering disebut sebagai rahmatan
lil’aalamin.
Kedua, ikut meningkatkan kualitas
masyarakat lokal dan mengembangkan berbagai macam kebudayaan positif yang
mereka miliki. Ini diperuntukkan agar warga negara kita punya visi yang
sejalan, bahwa untuk menjawab aspek negatif globalisasi budaya modernis-sekularis yang mengarah pada
penyeragaman, diperlukan sikap kreatif agar keberagaman kebudayaan positif
“agamis” dapat terjaga. Hanya saja, yang perlu diperhatikan adalah, penonjolan
aspek lokalitas kebudayaan tersebut tidak boleh mengarah menjadi paham
partikularisasi.
Artinya,
pandangan menjaga perbedaan demi perbedaan itu sendiri mesti tidak boleh ada.
Sebab, hal ini justru akan menimbulkan masalah baru seperti disintegritas,
konflik antar etnis dan sebagainya. Setiap kebudayaan manusia haruslah berani
berdialog dengan berbagai kebudayaan positif diluar dirinya. Karena ini sesuai
dengan watak manusia itu sendiri yang selalu berkembang berdasar pada
problem-problem kontemporer yang melingkupi dirinya.
Ketiga, dikarenakan globalisasi juga
semakin memperlebar jurang-jurang antar berbagai kelompok dan kelas, seperti
yang kaya dan yang miskin, atau yang diuntungkan dengan globalisasi dan yang
dirugikannya, maka orientasi-orientasi amal praksis IMM (kader) harus memihak
pada para korban, atau pihak yang dirugikan dengan adanya globalisasi ekonomi arus uang atau korporasi tersebut.
Mengapa
demikian, sebab salah satu efek dari globalisasi adalah tercerabutnya akar-akar
lembaga sosial seperti, perilaku saling menjamin dalam gotong royong, kemudian
runtuhnya bangunan penjamin dalam keluarga karena seluruh keluarga, terutama
ayah dan ibu beraktifitas sangat padat yang tanpa memiliki waktu untuk
membangun pondasi rumah tangganya. Kedua contoh peristiwa tersebut merupakan dampak
dari individualisasi dalam kultur globalisasi kapitalisme liberal.
Padahal,
sebelumnya orang-orang yang terpinggirkan, seperti si miskin, dijamin oleh
keluarga atau masyarakat sekitarnya. Sedangkan hari ini, pelan tapi pasti para
korban sudah tidak dapat lagi mengharap bantuan dari mereka yang dahulu
menolongnya seperti lembaga-lembaga sosial diatas. Setiap kita, dalam globalisasi mainstream dipaksa menjalani
biografinya sendiri-sendiri dan “tidak begitu” terikat dengan lembaga-lembaga
sosial yang ada.
Dengan
melakukan hal-hal mendesak seperti tersebut diatas, insya Allah masyarakat tidak akan gagap dengan datangnya
globalisasi yang telah membuat sejarah kehidupan manusia tidak dapat lagi
diprediksikan secara tepat. Karena, disatu sisi memberikan perlawanan terhadap
globalisasi dengan merebut makna dan memberikan wacana tanding globalisasi yang
memihak kaum marginal, disisi lain melakukan upaya “pemberdayaan” yang muncul
dari efek keasadaran kritis pribadi dari individu-individu dalam masyarakat.
Dalam posisi-posisi
yang seperti inilah kader-kader IMM dapat melakukan peranan-peranannya.
Bukankah wacana Intelektual Profetik IMM yang
sekarang diusung sebagai garis ideologis perjuangan mengandaikan praksisme
peran menuju terbebasnya masyarakat, dan kita, dari jeratan kolonialisme dalam
berbagai wajahnya, sehingga keadilan sosial dan kesejahteraan sosial dapat
terwujud.
Dan jika
demikian, mestinya kader-kader IMM tanggap, bahwa untuk menuju kearah itu,
institusi harus melahirkan penggerak-penggerak yang tekun dalam mengembangkan
diri, terutama dalam ranah ilmu. Hal ini juga tidak akan terwujud apabila di
tubuh IMM sendiri hanya ada sedikit orang-orang yang bisa tekun berjuang dalam
kesendirian seperti membaca, berkontemplasi dan terutama menulis. Maka, turut gembira
dengan kehadiran buku Manifesto Gerakkan Intelektual
Profetik IMM, penulis menyarankan jadikan slogan Aku Menulis Maka Aku Ada merupakan slogan pelengkap dari semboyan
IMM, Unggul dalam
Intelektual, Anggun dalam Moral, dan Radikal dalam Gerakan. Abadi perjuangan, Insya Allah.
Penulis adalah alumni SMPM 1
& SMAM 1 Cilacap, lulus “nyantri” di pondok Shabran UMS. Mantan PW IPM & DPD IMM Jawa Tengah (2000-2002). Kini
mengabdi di STIE Muhammadiyah Cilacap dan masjid-mushalla Muhammadiyah di
wilayah Cilacap Selatan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar